Sabtu, 06 Agustus 2011

Belajar dari kekerasan?

Kekerasan terhadap anak akan menimbulkan dampak kontinu. Source : Google.com

"Semua ini dilakukan atas dasar pelatihan mental dan fisik seorang anak agar kedepannya bisa menjadi manusia yang tahan tempaan jaman".

 Sebagian dari kita mungkin sudah sangat sering mendengar kata-kata serupa diatas. Dan tak jarang juga kita tidak sependapat dengan hal tersebut, dimana kekerasan secara mental dan fisik menjadi sah dilakukan dibeberapa institusi termasuk institusi pendidikan. Saya mungkin bukan termasuk orang yang paham pendidikan di negeri ini mulai dari kurikulum sampai pendanaan, tapi setidaknya saya pernah menjadi seorang siswa dan sedikit banyak sering memantau hal tersebut.


Katakanlah MOS (Masa Orientasi Siswa), kegiatan yang bertujuan untuk memperkenalkan seorang siswa terhadap lingkungan baru yang akan mereka jalani baik dari SMP ke SMA atau SMA ke Perguruan Tinggi (Untuk perguruan tinggi lebih dikenal dengan Ospek). Kegiatan ini bersifat positif, karena seorang siswa akan diperkenalkan mengenai seluk beluk tempatnya belajar, mulai dari ruang pembelajaran, perpustakaan, bagaimana proses belajar-mengajar, visi misi sekolah, dan banyak hal lain. Namun hal miris juga sering terjadi, dimana MOS lebih sering dijadikan ajang balas dendam senior kepada junior. Jika harus disalahkan, mungkin tidak akan pernah selesai karena kita sendiri tidak tahu siapa yang harus disalahkan terhadap kejadian yang seperti ini. Saya pribadi yakin hal ini sudah dibicarakan sendiri dari internal sekolah mengenai mekanisme MOS, tetapi pemantauan di lapangan yang kurang menjadikan praktek seperti ini sering terlihat terjadi bahkan secara kontinu dari generasi ke generasi.

Perilaku kekerasan terkadang timbul dari pengalaman masa lalu. Source : Google.com


Pertanyaannya, Apakah kekerasan merupakan konsep yang baik untuk menempa seseorang secara mental dan fisik?
Hal tersebut kembali lagi pada konsep pemikiran pribadi seseorang. Namun yang dapat saya sedikit singgung didalam tulisan ini adalah Kekerasan tidak akan membuat sesuatu menjadi lebih baik. Entah itu hanya serupa kekerasan mental seperti mengucapkan hal yang tidak pantas pada seseorang, hingga kekerasan fisik seperti pemukulan.

Mari kita ambil contoh cerita dibawah ini

Dimas seorang siswa SMP. Dia baru masuk SMP, dan harus mengikuti MOS seperti umumnya siswa yang lain. Hari pertama kegiatan seperti pada umumnya, Upacara pembukaan hingga pengenalan lingkungan sekolah. Karena beberapa alasan kecil seperti tidak membawa mie instan seperti pengumuman sebelumnya, Dimas harus menerima hukuman dengan berlari dilapangan dan berdiri menghadap matahari dengan disertai hujatan dari senior.

Hal seperti ini bukankah masih mudah ditemui dalam kegiaatan apapun? Termasuk juga beberapa organisasi sekolah dalam pelantikan atau penempuhan kelengkapan seragam. Hal yang lebih parah, dibeberapa kejadian sering juga kita temui terjadi pemukulan di beberapa anggota tubuh. Lalu masihkah kita berfikir bahwa kekerasan menyelesaikan masalah? Jika jawabannya "iya", maka  tidak heran hampir semua aktifitas diindonesia dimulai dari kekerasan. Hal kecil seperti tawuran, hingga penggulingan rezim.

Kekerasan yang dialami seseorang akan terus mendiami sudut kecil memori otaknya, yang apabila ada kesempatan maka ia juga akan melakukan tindakan yang sama. Seorang ayah yang menendang anaknya bukan berarti sang anak tidak melakukan hal yang sama melainkan sangat besar kemungkinan terjadinya tindak kekerasan yang berlanjut.

Mari simak contoh lain yang terjadi juga di instiusi pendidikan

 Dimas terlambat sekolah karena dijalan sepeda yang dikendarainya mengalami kebocoran ban. Sesampainya disekolah seorang guru BK sudah menanti dan memberikan hukuman tamparan tanpa mendengarkan dahulu penjelasannya. Sepulang sekolah, Dimas menceritakan hal tersebut pada orang tuanya. Namun karena takut anaknya jadi incaran Guru maka orang tuanya diam saja.

Seorang Guru adalah panutan, dan tidak ada pembenaran terhadap pemukulan atau kekerasan apapun yang dilakukan oleh seorang guru terhadap muridnya. Bukankan ada banyak cara lain untuk memberi pembelajaran terhadap kesalahan seorang siswa? semisal harus membersihkan kamar mandi atau halaman sekolah.Orang tua tidak menyekolahkan anaknya untuk dipukuli atau ditampar, melainkan untuk belajar demi masa depan dan dapat memilih akan hal benar yang harus dilakukan sebagai seorang manusia berbudi.

 Tidak ada pembenaran apapun terhadap kekerasan yang dilakukan oleh siapapun itu. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, namun sebaliknya kekerasan akan membuat trauma secara kontinu dan akan menimbulkan kekerasan serupa dikemudian hari. Mari coba kita renungkan kembali, apakah dampak yang akan kita dapat dari kekerasan untuk diri kita sendiri, orang terdekat kita, bangsa dan negara kita ini jika kekerasan sudah dipupuk sejak dini. Bukan kekerasan yang harusnya disuburkan, melainkan kasih sayang antar sesama manusia sebagaimana Tuhan senantiasa mengasihi kita semua umat manusia.



cinta kasih adalah hal yang harus dipupuk sejak dini. Source : Google.com

2 komentar:

  1. aku pernah jadi peserta maupun panitia MOS. menurut pengalaman saya, justru kegiatan ini dapat membentuk mental saya dan teman-teman. dari yang cupu dan ga bisa argumen menjadi seorang yang memiliki jiwa kepemimpinan dan dapat berargumen serta mempertahankan pendapat.

    sebenarnya melakukan kekerasan atau balas dendam bukan tujuan panitia. tujuan panitia adalah membentuk mental peserta dengan 'menghujat-hujat' mereka agar mereka bisa mempertahankan pendapat dalam kondisi mendesak sekalipun. dalam kegiatan semacam ini pula, peserta dilatih berargumen tanpa terbawa emosi.

    balas dendam? ngga! panitia, sebagai senior, pasti ingin membuat junior yang memiliki mental baja agar dapat terus mempertahankan nama baik almamater sekolah/universitas ketika mereka (para senior) pergi nanti. panitia juga pasti akan sedih dan merasa tidak puas apabila kegiatan ospek yang mereka lakukan tidak dapat menghasilkan peserta yang aktif dengan mental baja walaupun tenggorokan sakit ngomel sana-sini dan mem-push-up peserta berkali-kali.

    sekian komentarku, mas taki, hehe.. :3

    BalasHapus
  2. tapi tidak semua peserta memiliki kepribadian yang sama dan bisa ditempa dengan cara tersebut. kita ambil contoh 20 % anak yang memiliki kepribadian khusus dan harus ditempa dengan cara yang benar. memaki dan memojokkan bukan sebuah alasan untuk membuat mental seorang anak bertambah besar atau menjadi baja. masih sangat banyak cara untuk membuat mental seorang anak menjadi lebih dewasa dan tentunya dengan cara yang relevan.

    contoh lagi penggunaan seragam lapangan pada waktu mos, secara harfiah banyak senior atau pembina mengatakan hal tersebut bertujuan untuk melatih rasa malu agar kedepannya bisa lebih percaya diri dan mampu mengatasi perubahan iklim pembelajarannya mengingat mereka baru dilingkungan tersebut. tetapi menggiatkan rasa malu tidak harus dengan cara tersebut. bisa dengan memberi pengarahan dan pembelajaran tentang apa itu rasa malu dan bagaimana menyikapinya. melalui kegiatan keagamaan juga bisa dibangun mental kok. memang susah melihat anak muda jaman sekarang yang tidak punya rasa malu lagi, tetapi dengan konsep pengajaran agama yang benar hal itu memungkinkan seseorang menimbulkan kembali rasa malunya terhadap diri sendiri, orang lain, dan khususnya ALLAH.

    yah setidaknya itu argumen saya...ada pendapat?

    BalasHapus